ALIRAN-ALIRAN
FILSAFAT
PENDIDIKAN
Diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok
Mata kuliah : Filsafat Pendidikan
Dosen :
Mustopa, M.Pd
Disusun oleh
kelompok 4 :
1.
Ucup Supriadi
2.
RIKY DWI SEPTIAN
3.
KAYADI
Tarbiyah / IPS - C /
SEMESTER III
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI
CIREBON
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pertumbuhannya,
filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang
kurun waktu dengan objek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan berbagai
macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan
yang lain hanya bersifat saling kuat-menguatkan, tapi tidak jarang pula yang
berbeda atau berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang di
pakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena
perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang
dihasilkan menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain
iu faktor zaman dan pandangan hidup yang melatar belakangi mereka, serta tempat
di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Menyimak kembali sejarah
pertumbuhan dan perkembangan filsafat sebagaimana yang telah di uraikan dalam
bab pertama, akan menjadi jelas adanya perbedaan tersebut diatas. Begitu pula
halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan
bebagai pandangan atau aliran. Karena pemikiran filsafat yang tidak pernah
mandeg.
Untuk mengetahui
perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan, di bawah ini akan diuraikan
garis-garis besar aliran-aliran filsafat dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Progressivisme?
2. Apakah
yang dimaksud dengan aliran Esensialisme?
3. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Perennialisme?
4. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Rekontruksionalisme?
5. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Eksistensialisme ?
6. Apakah
yang dimaksud dengan aliran Idealisme?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui aliran Progressivisme
2. Untuk mengetahui aliran
Esensialisme
3. Untuk mengetahui aliran
Perennialisme
4. Untuk mengetahui aliran
Rekontruksionalisme
5. Untuk mengetahui aliran
Eksistensialisme
6. Untuk Mengetahui aliran Idealisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Progressivisme
Aliran Progressivisme adalah
suatu aliran yang sangat berpengaruh di abad ke-20 ini. Pengaruh ini sangat
terasa sekalli khususnya di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan dalam dunia
pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran Progressivisme ini. Biasanya
aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal –“The liberal road to
culture”.[1] Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia
bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan
mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan
dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987:
228-229)
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan
kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik
maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam
dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali,
1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan
yang otoriter.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi
pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah
bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah
di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus
menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik
tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk
itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar
“sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Sifat-sifat aliran Progressivisme
1) Sifat-sifat Negatif, dalam artian bahwa, Progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala
bentuk, seperti terdapat dalam agama, politik, etika dan epitemologi.
2) Sifat-sifat Positif, dalam
arti bahwa Progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari
manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia dari alam sejak lahir.
Maka tugas pendidikan
menurut pragmatisme, ialah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia
itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan praktis.
Perkembangan aliran Progressivisme
Dalam asas modern – sejak abad ke-16 Francis Bacon, John Locke,
Rousseau, Kant dan Hegel dapat dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang
dalam proses terjadinya aliran pragmatisme-Progressivisme. Dalam abad ke-19 dan
ke-20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Thomas
Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme
karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap dogmatis,
terutama dalam agama.
Keyakinan-keyakinan Progressivisme tentang pendidikan
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak
didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya.
Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan,
sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi
pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah
bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah
di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus
menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik
tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk
itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar
“sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan
dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi
sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak
menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulh
sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
B. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.[2] Esensialisme muncul pada
zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar
pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan
tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap
permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk
memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut
Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera
memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu
sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu
sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi,
apriori yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang
terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan
mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai
substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna,
1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof, menerangkan
tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan
rohani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja
Yng telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima
dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang
timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
Selain itu juga di warnai dengan pandangan-pandangan dari paham
penganut aliran idealisme dan realisme. Imam Bernadib (1981)[3], menyebutkan beberapa
tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:
1. Desiderius Erasmus, humananis Belanda yang hidup pada akhir abad
15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan
hidup yang berpijak pada dunia lain.
2. Johann Amos Comenius yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah
seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa
pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3. Johann Friederich Herbert yang hidup pada tahun
1776-1841, sebagais alah seorang murid Immanuel Kant yang berpendapat dengan
kritis, herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa
seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti penyesuaian dengan
hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan
pendidikan oleh Herbert sebagai ‘pengajaran yang mendidik’.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia
di dunia dan hakikat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan
segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme
merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran dan kegunaan.
C. Aliran Perennialisme
Perennialisme diambil dari
kata perennial, yang artinya kekal dan abadi, dari makna yang terkandung dalam kata
itu’ aliran Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang teguh
pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau
proses mengembalikan keadaan sekarang kepada masa lampau. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan
dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat
ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan
bagi seorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah, perenialisme
berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas merupakan tugas
yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang
tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir secara
induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat dihasilkan.
Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang
untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan
penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan memahami factor-faktor dan
problema yang perlu diselesaikan dan berusaha mengadakan penyelesaian
masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya
yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan
buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka yang oleh
zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah, filsafat,
politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan lain-lainnya, yang
telah banyak memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik ke arah kematangan.
Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu mendapat tuntunan
ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan
pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional seperti membaca,
menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting bagi
pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan, mempesiapkan anak
didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas
utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada
anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat
tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkan.
Prinsip-prinsip
pendidikan Perennialisme
Di bidang pendidikan, Perennialisme
saangat dipengaruhi oleh: Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Dalam hal ini
pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi
daripada hukum universal. Maka tujuan utama pendidikan adalah “ membina
pemimpin yang sadar dan mempraktekan asas-asas normatif itu dalam semua aspek
kehidupan.
Menurut Plato, manusia
secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu : nafsu, kemauan, dan pikiran. Bagi
Aristoteles, tujuan pendidikan adalah ‘kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek harus dikembangkan
secara seimbang.
Seperti halnya Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan yang
diinginkan oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan kapasitas yang
ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini
peranan guru adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
D. Aliran Rekontruksionalisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada
prinsipnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis
kebudayaan modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran
tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai
kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan
dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan kembali daya
intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina
kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi generasi yang akan
datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan
suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat
secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita
demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi
kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan
kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan,
nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
E. Aliran Eksistensialisme
Eksistensialisme bisa
dialamatkan sebagai saanlah satu reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap
peradaban manusia yang hampir punah akibat perang dunia kedua.[4] Dengan demikian Eksistensialisme pada hakikatnya adalah
merupakan aliran filsafat yang bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia
sesuai dengan keadaan hidup asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Secara singkat Kierkegaard
memberikan pengertian Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu
pemikiran abstrak, tidak logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak
segala bentuk kemutlakan rasional.[5] Dengan demikian aliran ini
hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan siuasi sejarah yang
dialami, dan tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta
spekulatif. Baginya, segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan
yang tumbuh dari dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai
keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangan itu,
sikap dikalangan kaum Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali
nampak aneh atau lepas dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to,
adalah lebih banyak menjadi ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang
pendidikan, disimpulkan oleh Van Cleve Morries dalam Existentialism
dan Education, bahwa ” Eksistensialisme tidak menghendaki adanya
aturan-aturan pendidikan dalam segala bentuk”[6] oleh sebab itu Eksistensialisme dalam hal ini
menolak bentuk –bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
F. Aliran Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374
SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata
bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan
bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita
melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta
menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan
idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud
lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam
dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya
tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan
asli. Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak
bisa dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia
yang tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh
yang dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme
yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi
stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap
kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan.
Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki
posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke
bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan
budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah
bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan
sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan
cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin
yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan
jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah
memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang
telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia idea adalah pekerjaan norahi
yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan
lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan
sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi
dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang
tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif (Peursen, 1978:36).
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan
sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang
dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang
datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua,
adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea),
gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan
asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang
tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua
yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani
dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar.
Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari
idea adalah arche yang merupakan tempat
kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak
mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah
manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan
dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu
hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan
dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran
yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan
dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada
kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu
lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk
kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56). Maka apabila kita menganalisa
pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk
mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan terletak
pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan hanya bisa dicapai dan dirasakan
dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan
idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika
berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi
adalah alam pikiran (Ali, 1991:63). Sehingga, rohani dan sukma merupakan
tumpuan bagi pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak
bagi aliran idealisme. Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan
berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea. Idea
ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan
apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk
mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari
aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal
yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh
materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip pengenalan dengan
memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini adalah jiwa atau
sukma. Dengan demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia
tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos) dan
dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian
ini menjadi sasaran studi bagi aliran filsafat idealisme (Van der Viej,
2988:19).
Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi
di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang
ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa
mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar membatasi
unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini
disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat
sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu
sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat
dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah pikiran
Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi
sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata: Adapun buah
pikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota utama yang
merupakan idea yang belum pernah dikenal dan dikemukakan orang sebelumnya. Yang
kedua, pendapatnya tentang idea yang merupakan buah pikiran utama yang mencoba
memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh persoalan itu yang sampai sekarang
belum terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang dikemukakannya
tentang keabadian. Yang keempat, buah pikiran tentang alam/cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu
pengetahuan (Ali, 1990:28).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil
pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara
fundamental. Perbedaan-perbedaan cara dalam meng-approach suatu masalah akan
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda tentang masalah yang sama.
Perbedaan-perbedaan itu dapat juga disebabkan latar belakang pribadi para ahli
tersebut, di samping pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di suatu
tempat. Kenyataan-kenyataan itu melatar belakangi perbedaan-perbedaan tiap-tiap
pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian, ajaran
filsafat tersebut disusun dalam satu sistematika dengan kategori tertentu.
Klasifikasi inilah yang melahirkan apa yang kita kenal sebagai suatu aliran.
(sistem) suatu ajaran filsafat. Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai produk
suatu zaman, produk suatu cultural and social matrix. Dengan demikian suatu
ajaran filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas sesuatu realita di dalam
kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita, idealisme yang secara
radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan tertentu.
Berdasarkan kenyataan sejarah, filsafat
bukanlah semata-mata hasil perenungan, hasil pemikiran kreatif yang terlepas
daripada pra kondisi yang menantang. Paling sedikit, ide-ide filosofis adalah
jawaban terhadap problem yang menentang pikiran manusia, jawaban atas ketidak
tahuan, atau verifikasi tentang sesuatu. Filsafat juga merupakan usaha meneuhi
dorongan-dorongan rasional manusiawi demi kepuasan rohaniah, untuk kemantangan
pribadi, untuk integritas.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, 2004.
Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Bumi Aksara
http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com/2008/06/aliran-aliran-filsafat
pendidikan.html/12/10/2011 (Diposkan oleh panji_aromdani di 21:47 )
Joe Park, Selected Readings
in the Philosophy, New York, Macmillian Publishing Co, Inc. 1974
Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan, Yayasan Peerbit FIP IKIP, Yogyakarta.
Fernando R. Molina,The
Sources of Eksistentialism As Philosophys, New Jersey, Prentice-Hall-1969,
hal, 1
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat. Yogyakarta,
Kanisius, 1996.
[1] Theodore Brameid, The
Patern of Educational Philosophy, The Mac. Millan Company, New York, 1956
[2] Joe Park, Selected
Readings in the Philosophy, New York, Macmillian Publishing Co, Inc. 1974.
[3] Imam Barnadib, Filsafat
Pendidikan, Yayasan Peerbit FIP IKIP, Yogyakarta, Hal. 38-40.
[4] Fernando R. Molina,The
Sources of Eksistentialism As Philosophys, New Jersey, Prentice-Hall-1969,
hal, 1
[5] Paul Roubiczek, Existentialism
For and Against, Cambridge University Press, 1966, hal. 10
[6] Joe Park, op. Cit., hal.
128-138
nice
BalasHapusrecomended for study
BalasHapus