BAB I
PENDAHULUAN
Masa
remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan
dan tidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori
perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan
perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena
perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan
lingkungan.
Sejalan dengan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam diri remaja, mereka juga dihadapkan pada tugas-tugas yang
berbeda dari tugas pada masa kanak-kanak. Sebagaimana diketahui, dalam setiap
fase perkembangan, termasuk pada masa remaja, individu memiliki tugas-tugas
perkembangan yang harus dipenuhi. Apabila tugas-tugas tersebut berhasil
diselesaikan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, kebahagian dan
penerimaan dari lingkungan. Keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas itu juga
akan menentukan keberhasilan individu memenuhi tugas-tugas perkembangan pada
fase berikutnya.
Hurlock (1973) memberi batasan masa
remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18 tahun. Menurut
Thornburgh (1982), batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan
alran kontemporer membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun.
Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan
anak-anak pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja
membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka dalam kategori remaja. Adanya peningkatan
kecenderungan para remaja untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan
kerja (magang) setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun
juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan bahwa pembentukan
identitas diri remaja masih terus berlangsung sepanjang rentang usia tersebut.
Dalam pengantar diatas dapat saya
tarik rumusan masalahnya antara lain; apa saja yang menjadi permasalahan dalam
perkembanagan remaja itu? Dan bagaimana hubungan antara perkembangan remaja
dengan orangtua? Dan bertujuan untuk
mengetahui pemasalahan yang terjadi pada remaja, serta mengetahui hubungan
perkembangan remaja dan orangtua.
BAB II
PERKEMBANGAN
REMAJA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ORANGTUA
A.
Perkembangan Remaja
1.
Perkembangan
Potensial
Kelompok
remaja dapat dikenali dari potensinya yang dahsyat. Pada umumnya remaja tidak
mengenal rasa takut bahkan cenderung nekad sehingga banyak aktivitas mereka
yang menyentuh bahaya atau bersinggungan dengan bahaya, misalnya, memanjat
tebing, mendaki gunung, olahraga balap, tinju, menjelajah gua, atau bertualang
ke hutan belantara. Mereka mendirikan kelompok-kelompok atau
perkumpulan-perkumpulan (gangs) untuk mengaktualisasikan identitas
kelompok mereka. Jika aspirasi mereka tersumbat atau mendapatkan rintangan,
mereka mengajukan protes atau melakukan perlawanan dengan hebat tanpa
memperhitungkan risiko yang akan ditimbulkan akibat tindakan mereka yang tanpa
perhitungan.
2. Perkembangan Emosional
Masa
remaja selalu berhubungan dengan berbagai pergolakan emosional yang belum
stabil. Ada keyakinan diri, kegelisahan, iri hati, malu, harga diri, dan emosi
lainnya yang dulu muncul sewaktu kanak-kanak, sekarang menjadi bagian penting
dari kehidupan mereka. Emosi sosial yang sudah muncul ketika berusia enam tahun
sangat penting dalam menunjang pergaulan mereka dengan teman-teman sebayanya.
Emosi remaja juga dapat dikenali dari berkembangnya perasaan atau emosi baru
seperti romantisme, cemburu, cinta, sedih, atau perasaan kesepian.
3. Perkembangan Psikososial
Ketika
anak-anak memasuki masa remaja, terjadi perubahan karena pertumbuhan fisik
mereka yang berkembang sangat pesat. Pada masa ini, dorongan seksual muncul
dengan kuat dan wajah mereka mulai mengarah kepada bentuk dewasa. Perubahan
fisiologis ini diikuti pula oleh perubahan psikologis, yakni berkembangnya
mental mereka.
4. Perkembangan Intelektualitas
Beberapa
remaja sudah terlihat kehebatan intelektualitas mereka dalam berbagai bidang
pemikiran dan perasaan sehingga mampu melahirkan karya-karya bermutu dalam
bidang seni, sains, dan teknologi. Menurut Jean Piaget, kelompok remaja berada
pada tahap operasional formal, dan merupakan tahap terakhir dari perkembangan
kognisi. Perkembangan yang sehat dan normal membuat mereka mampu memecahkan
masalah-masalah dengan menggunakan berbagai alternatif dan memahami berbagai
masalah yang kompleks dan rumit. Fokus mereka adalah: kemampuan berpikir secara
abstrak dan berpikir secara hipotetis.
5. Perkembangan Moral
Menurut
Lawrance E. Kohlberg, remaja dapat dikenali dari moral mereka yang berorientasi
kepada membangun dan membina hubungan saling menguntungkan (mutual
interpersonal relationship). Bagi mereka moralitas yang baik adalah hidup
yang bermanfaat bagi orang lain, misalnya, berguna bagi saudara, teman-teman,
masyarakat, melaksanakan peraturan, menjaga ketertiban, dan seterusnya.
6. Perkembangan Psikoseksual
Menurut
pengamatan Freud, pada usia remaja perkembangan psikoseksual mereka berada pada
tahapan genitalia. Fokusnya adalah ketertarikan terhadap lawan jenis dan energi
seksual diarahkan terhadap organ genital. Dorongan seksual yang besar menyebabkan
remaja mencari pemuasannya. Berdasarkan psikoanalisa Freud, fase genital
berlangsung sejak masa pubertas sampai meninggal dunia. Fase genital sangat
dipengaruhi oleh fase pragenital. Artinya,jika tahapan sebelumnya berhasil
dilewati dengan baik, tahapan genital akan berlangsung dengan baik, tetapi jika
fase tahapan pragenital mengalami masalah, tahapan genital juga akan
bermasalah.[1]
B. Tugas perkembangan remaja
Tugas
perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
1. memperluas hubungan antara pribadi
dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki
maupun perempuan
2. memperoleh peranan social
3. menerima kebutuhannya dan
menggunakannya dengan efektif
4. memperoleh kebebasan emosional dari
orangtua dan orang dewasa lainnya
5. mencapai kepastian akan kebebasan dan
kemampuan berdiri sendiri
6. memilih dan mempersiapkan lapangan
pekerjaan
7. mempersiapkan diri dalam pembentukan
keluarga
8. membentuk sistem nilai, moralitas dan
falsafah hidup[2]
Erikson
(1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama
remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan
krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas
perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja
dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan
peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk menyelesaikan
krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya
dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada
akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan
menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.
Tugas perkembangan ada
dalam setiap tahap kehidupan. Tidak hanya untuk remaja namun dari kanak-kanak
hingga dewasa lanjut.Setiap tahap kehidupan memang telah memiliki tugas
perkembangannya masing-masing. Tugas perkembangan remaja perlu diketahui para
remaja agar dapat dijadikan acuan bagi masa berikutnya yaitu masa dewasa dan
perlu diketahui pula oleh para orangtua dan guru agar dapat membimbing
putra-putri/murid-muridnya untuk dapat melewati masa-masa “penuh badai”
tersebut dengan baik .
C. Permasalahan Remaja
Tidak
semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut dengan baik. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa
masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-tugas tersebut, yaitu:
- Masalah pribadi, yaitu
masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di rumah,
sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan
nilai-nilai.
- Masalah khas remaja, yaitu
masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja, seperti
masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan
stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit
kewajiban dibebankan oleh orangtua.
Elkind
dan Postman (dalam Fuhrmann, 1990) menyebutkan tentang fenomena akhir abad
duapuluh, yaitu berkembangnya kesamaan perlakuan dan harapan terhadap anak-anak
dan orang dewasa. Anak-anak masa kini mengalami banjir stres yang datang dari
perubahan sosial yang cepat dan membingungkan serta harapan masyarakat yang
menginginkan mereka melakukan peran dewasa sebelum mereka masak secara
psikologis untuk menghadapinya. Tekanan-tekanan tersebut menimbulkan akibat
seperti kegagalan di sekolah, penyalahgunaan obat-obatan, depresi dan bunuh
diri, keluhan-keluhan somatik dan kesedihan yang kronis.
Lebih
lanjut dikatakan bahwa masyarakat pada era teknologi maju dewasa ini
membutuhkan orang yang sangat kompeten dan trampil untuk mengelola teknologi
tersebut. Ketidakmampuan remaja mengikuti perkembangan teknologi yang demikian
cepat dapat membuat mereka merasa gagal, malu, kehilangan harga diri, dan
mengalami gangguan emosional.
Bellak
(dalam Fuhrmann, 1990) secara khusus membahas pengaruh tekanan media terhadap
perkembangan remaja. Menurutnya, remaja masa kini dihadapkan pada lingkungan
dimana segala sesuatu berubah sangat cepat. Mereka dibanjiri oleh informasi
yang terlalu banyak dan terlalu cepat untuk diserap dan dimengerti. Semuanya
terus bertumpuk hingga mencapai apa yang disebut information overload.
Akibatnya timbul perasaan terasing, keputusasaan, absurditas, problem identitas
dan masalah-masalah yang berhubungan dengan benturan budaya.
Uraian
di atas memberikan gambaran betapa majemuknya masalah yang dialami remaja masa
kini. Tekanan-tekanan sebagai akibat perkembangan fisiologis pada masa remaja,
ditambah dengan tekanan akibat perubahan kondisi sosial budaya serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat seringkali
mengakibatkan timbulnya masalah-masalah psikologis berupa gangguan penyesuaian
diri atau ganguan perilaku. Beberapa bentuk gangguan perilaku ini dapat
digolongkan dalam delinkuensi.
Perkembangan
pada remaja merupakan proses untuk mencapaikemasakan dalam berbagai aspek
sampai tercapainya tingkat kedewasaan. Proses ini adalah sebuah proses yang
memperlihatkan hubungan erat antara perkembangan aspek fisik dengan psikis pada
remaja.[3]
D. Hubungan Remaja dengan Orang Tua
Menurut
Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42) mengemukakan bahwa masa remaja awal
adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui
tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan
idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian
dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang
dilanggar oleh pihak rang tua dan remaja.
“Menurut
pendapat saya dengan menanggapi pembahasan hubungan remaja dan orangtua
kebanyakan ialah pada masa remaja itu banyak membangkang, atau egois kepada
orangtua. Dengan adanya rasa kebebasan itu remaja merasa ingin mencoba berontak
untuk mencari identitas diri. Hubungannya atau peran orangtua itu seharusnya
lebih bias mengerti kondisi si Anak Remaja tersebut, sehingga anak Remaja pun
merasa di perhatikan dan dianggap ada.”
Collins
(dalam Santrock, 2002: 42) menyimpulkan bahwa banyak orang tua melihat remaja
mereka berubah dari seorang anak yang selalu menjadi seseorang yang tidak mau
menurut, melawan, dan menantang standar-standar orang tua. Bila ini terjadi,
orang tua cenderung berusaha mengendalikan dengan keras dan member lebih banyak
tekanan kepada remaja agar mentaati standar-standar orang tua.
Dari
uraian tersebut, ada baiknya jika kita dapat mengurangi konflik yang terjadi
dengan orang tua dan remaja. Berikut ada beberapa strategi yang diberikan oleh
Santrock, (2002: 24) yaitu : 1) menetapkan aturan-aturan dasar bagi pemecahan
konflik. 2) Mencoba mencapai suatu pemahaman timbale balik. 3) Mencoba
melakukan corah pendapat (brainstorming). 4) Mencoba bersepakat tentang satu
atau lebih pemecahan masalah. 5) Menulis kesepakatan. 6) Menetapkan waktu bagi
suatu tindak lanjut untuk melihat kemajuan yang telah dicapai.
Berdasarkan
uraian tersebut maka peneliti menyimpulkan bahwa karakteristik remaja
atau proses perkembangan remaja
meliputi masa transisi biologis yaitu pertumbuhan dan perkembangan fisik.
Transisi kognitif yaitu perkembangan kognitif remaja pada lingkungan sosial dan
juga proses sosioemosional dan yang terakhir adalah masa transisi sosial yang
meliputi hubungan dengan orang tua, teman sebaya, serta masyarakat sekitar.
Berikut Sikap-sikap orangtua terhadap remaja:
- Perhatian orangtua kepada Anak Remaja
Hubungan
Remaja dan orang tua serta peran orang tua dalam perkembangan sampai masa
remaja sangat penting. Menurut Newman (dalam Rice,1999), remaja menginginkan
orang tua yang menaruh perhatian dan siap membantu apabila remaja membutuhkan
bantuan serta mendengarkan dan berusaha mengerti sebagai remaja; menunjukan
bahwa mereka menyetujui remaja ; menerima apa adanya; memperlakukan sang remaja
dengan dewasa dan yang paling penting menjadi teladan baik bagi remaja.
Dalam
setiap keluarga ada nilai-nilai atau aturan yang harus dipegang atau ditaati
oleh setiap anggota keluarga termasuk anak remaja itu sendiri. Namun bila
setiap aturan tidak disampaikan dengan baik maka akan terjadi
pelanggaran-pelanggaran. Dalam komunikasi itulah setiap aturan atau nilai-nilai
keluarga disampaikan. Keluarga yang memiliki kekurangdekatan hubungan antar
anggota keluarga, hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga, akan sangat
sulit membicarakan hal ini dalam keluarga dan memungkinan timbulnya delikuensi
pada anak remaja.[4]
- Realita Hubungan Orangtua Dan Anak
Remaja
Salah satu
pemicunya adalah sikap orangtua yang masih menganggap ”Anak Baru Gede (ABG)”
selayaknya anak kecil, sementara sebaliknya kaum remaja mengkultuskan diri
sudah dewasa, mampu untuk mengatur diri sendiri. Mungkin disinilah letak muara
permasalahannya, tetapi kedepannya janganlah biarkan semua ini semakin
berlarut-larut.
Penyebab
lainnya adalah masih banyak orang tua dan guru yang belum memahami secara
benar wawasan mengenai HIV/AIDS, Kesehatan Reproduksi dan Narkoba. Selain itu,
cara komunikasi dan penyampaian orang tua dan guru yang cenderung masih kaku
dan tidak terbuka turut memegang andil, hingga remaja kemudian menganggap
komunikasi “CurHat (Curahan Hati)” dengan teman sebayanya adalah yang paling
ideal, hanya fakta informasi yang didapat sering kali tidak proporsional dan
keliru.
Tak heran
bila kejadian kriminal, penyalahgunaan Narkotika, hubungan seksual di luar
nikah dan lainnya yang dilakukan oleh remaja meningkat terus setiap tahunnya,
tanpa ada harapan untuk menurun. Maka fenomena remaja tersebut bisa membuat dunia ini
menjadi tempat berkumpulnya generasi yang “Sakit”.
Tidak percaya! Data
UNAIDS (2006) sendiri menunjukkan, sekitar 50 persen pengidap HIV di dunia ada
pada kelompok usia di bawah 25 tahun dari total saat ini sekitar 44 juta kasus.
Dan fakta Di Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hingga September 2003
dari sekitar 3.924 kasus HIV/AIDS, lebih dari 50 persen berusia di bawah 29
tahun atau sebagian besar terinfeksi adalah kelompok remaja (15–24 tahun).
Sedangkan Bali, berdasarkan data awal tahun 2006 jumlah penderita sebagian besr
menyerang usia produktif terutama kelompok pelajar remaja (14-19 tahun)
sekitar 22 ODHA. Lebih mencengangkan, kalau semenjak ditemukannya
kasus HIV/AIDS pertama di Bali pada tahun 1987, ternyata remaja (15-29 tahun)
adalah kelompok terbesar pengidap HIV/AIDS dibandingkan kelompok usia lain
(KPAD Bali, 2006) yang sebagian besar diakibatkan dari kecanduan dan
penyalahgunaan narkoba, serta aktivitas seksual aktif yang bebas dalam bertukar
pasangan.
3. Usaha
Responsif Orang Tua
Banyak kiat yang bisa diamalkan orangtua demi
terciptanya keharmonisan dengan anak remajanya. Oleh karena itu, ditawarkan
beberapa solusi yang bisa dianalogikan cerminan opini kaum remaja guna tercapai
realita hubungan yang sehat dengan orang tuanya.
Diawali
dengan usaha untuk menciptakan dan menjaga hubungan komunikasi yang baik antara
orangtua dengan
anak remajanya. Orangtua sebaiknya berinisiatif lebih awal
untuk membuka obrolan dengan anak remajanya. Bicarakan masalah psikologis yang
terjadi, berilah kepercayaan dan wujudkan keterbukaan, ”demokrasi dalam rumah”.
Kedua,
cobalah untuk responsif bahwa remaja bersikap menentang disebabkan emosinya
yang masih belum mantap. Kadangkala remaja merasa sudah dewasa untuk menentukan
keinginan hidupnya, tanpa perlu mengindahkan rambu-rambu larangan. Maka
haruslah diberikan kepercayaan disertai pertimbangan untuk memilah dan memilih
keputusan yang bertanggung jawab dengan segala resikonya.
Selanjutnya
adalah pahamilah gaya hidup remaja dengan sifat ingin tahu yang tinggi, suka
coba-coba, iseng, gaul, trendy dan gagah-gagahan. Waspadalah bahwa berbagai
sifat remaja tersebut, bisa saja malah menjerumuskan remaja kearah yang salah,
terutama berkaitan dengan seks dan narkoba. Padahal remaja sendiri belum
menyadari sepenuhnya dampak dari tingkah laku tersebut, sehingga bahayanya bisa
memicu kerentanan terhadap resiko tertular infeksi menular seksual (IMS) bahkan
penyebaran HIV/AIDS di kalangan remaja. Sudah saatnya orangtua membuka dialog
yang lebih mengerti dunia remaja.
Keempat,
perlakukan remaja dengan selayaknya dan janganlah otoriter!. Jangan
memperlakukan seperti ”bayi raksasa”, karena remaja sering merasa dirinya telah
dewasa. Non otoriter (Otoritatif) bisa dicoba ketika remaja tertarik kepada
lawan jenis. Hendaknya orangtua menyadari bahwa masa pacaran hanyalah suatu
proses perkenalan saja.
Tak kalah
penting adalah menanamkan sifat sabar, jikalau remaja terlihat mulai doyan
berbohong ataupun suka kritis terhadap nasehat hidup, janganlah melabraknya
langsung. Ciptakan atmosfer untuk memberikan kesempatan kepada remaja memahami
kesalahan dan bagaimana memperbaikinya. Hendaknya jangan ”ringan tangan” atau
terkesan mendesak agar segera mengakui kesalahannya. Ingat, semakin dilarang
maka semakin penasaran remaja untuk mendobrak aturan tersebut.
Perlu
diingat bahwa tidak ada remaja yang 100% penurut dan berperilaku sesuai
keinginan orang tua. Suatu saat bila remaja pulang larut malam karena ”gaul”
dengan teman-temannya, sebaiknya masih dapat diterima, asalkan dengan alasan
yang wajar dan telah meminta ijin sebelumnya. Tapi tetap terapkan disiplin
dengan aturan yang tegas, lengkap dengan konsekuensinya jika masih melanggar
dikemudian hari. Ini penting untuk membentuk karakter remaja yang bertanggung
jawab.
Kemudian
berusahalah mentransfer pengalaman-pengalaman hidup orangtua yang sesuai. Kaum
Remaja sudah cukup siap dan mampu secara serius mempelajari masalah sosial dan
mempertanyakan nilai moral secara lebih mendalam.
Dan hal
terakhir yang bisa ditawarkan kepada orang tua adalah jangan lupa secara intensif
mendorong remaja untuk melakukan aktivitas sosial dan segala kesibukan positif
lainnya yang bermanfaat untuk meningkatkan rasa percaya diri. Cara lainnya
adalah tidak melarang realisasi hobi, mengembangkan potensi dan minat-bakat
remaja sepanjang itu menyenangkan dan positif.
4. Cobalah
Percaya Pada Remaja!
Tiap-tiap
Orangtua punya cara tersendiri dalam mengasuh anaknya. Maccoby, seorang
psikolog menyatakan bahwa terdapat dua pola asuh Orang Tua, yaitu ”Parental
Demandiness” berupa tuntutan orangtua terhadap anaknya dan ”Parental
Responsiveness” mencerminkan responsivitas orangtua terhadap kebutuhan
anaknya. Keduanya idealisme tersebut diharapkan berjalan dengan
porsi yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga. Tidak lupa bekalilah remaja
dengan pondasi citra diri yang kuat agar remaja tidak mudah terpengaruh
pengaruh buruk pergaulan bebas di masyarakat dan lingkungannya.[5]
E. Peran Orang Tua Dalam Pembentukan
Identitas Remaja
Salah
satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam perjalanan hidup seorang remaja
adalah pembentukan identitasnya. Salah satu identitas diri yang harus dimiliki
oleh setiap remaja adalah tata nilai. Melalui sistem tata nilai yang dianutnya,
seorang remaja mengungkapkan siapa, mengapa, dan bagaimana dia sebagai sosok
pribadi. Dapat dikatakan, setiap remaja adalah pribadi yang unik dan khas
sehingga memiliki identitas diri atau tata nilai yang belum tentu sama dengan
identitas atau tata nilai yang dianut remaja lain.
Sistem
tata nilai sebagai identitas remaja merupakan pengajaran melalui pembelajaran,
pengalaman, atau peniruan sehingga selalu terbuka kemungkinan kekeliruan atau
pemahaman lain. Tata nilai bukanlah dogma yang bersifat absolut dan statis,
melainkan sistem pengaturan atau penataan hidup yang bersifat kenyal
(fleksibel) dan dinamis. Tata nilai sebagai salah satu identitas remaja
mengatur pola hidup, tingkah laku ke dalam maupun ke luar, sekaligus sebagian
landasan moral maupun spiritual dalam melakukan interaksi, menata hidup,
melakukan perenungan hidup, menciptakan remaja yang berkepribadian, dan
memiliki budi pekerti yang luhur.
Tata
nilai seorang remaja terbentuk oleh banyak faktor, baik internal maupun
eksternal. Fakto-faktor internal adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah,
ibu, kakak, atau adik. Patut dicatat bahwa dalam sistem kekerabatan budaya
timur, faktor keluarga merupakan inti pembentukan tata nilai seorang remaja.
Faktor-faktor eksternal adalah semua faktor di luar keluarga inti dan keluarga
besar, misalnya, budaya, agama, sekolah, lingkungan, atau ideologi. Unsur-unsur
ini diproses di dalam diri sehingga menghasilkan reaksi maupun refleksi.[6]
Sumber
utama tata nilai keluarga adalah orang tua. Sebagai kepala keluarga orang tua
mempunyai otoritas terhadap pembentukan dan penentuan sistem tata nilai
keluarga. Pengajaran tata nilai yang lebih mengedepankan kelimpahan materi dan
kemakmuran ekonomi akan mendorong anak-anak remaja setelah dewasa menjadi hamba
keserakahan, dan ketamakan. Hati nurani mereka tumpul dan menilai sesama
berdasarkan kemampuan dan kekuatan ekonomi semata.
1.
Keluarga
sebagai sebuah sistem
Keluarga
adalah sebuah sistem yang digerakan oleh anggotanya berdasarkan asas saling
menghormati, menghargai, dan mendukung peranan masing-masing sehingga tercipta
sinergi dan keteraturan. Adanya aturan main membuat keluarga terus-menerus
mengalami perubahan dan secara instink setiap anggota keluarga bereaksi
terhadap perubahan tersebut.
Keluarga
sebagai sebuah sistem merupakan tempat seorang remaja membentuk dan
mengembangkan kepribadian dan karakter. Betapa pentingnya keluarga sebagai
sebuah sistem terlihat dari banyaknya variasi produk rumah tangga yang menjadi
komponen pembentuk masyarakat. Betapa banyak rumah tangga dewasa ini yang
mengalami disfungsi karena masing-masing anggotanya sebagai komponen yang menggerakan
sistem rumah tangga bermasalah dengan anggota yang lain atau dengan dirinya
sendiri.
Sistem
keluarga bisa dihancurkan oleh pribadi-pribadi yang miskin tenggang rasa, tidak
peduli, atau mementingkan diri sendiri. Dalam kenyataan sehari-hari, sering kali
keluarga-keluarga itu sendiri hancur berantakan akibat orang-orang di dalam
keluarga itu sendiri menghancurkannya. Seperti apa pun baiknya sebuah sistem
keluarga dirancang tidak akan memberi manfaat dan tidak akan bertahan lama jika
individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak mendukungnya, sebaliknya
malah menghancurkannya dari dalam.
2.
Peran
ayah sebagai pembentuk identitas
Seorang
ayah merupakan panutan dalam segala hal bagi anak-anaknya. Melalui perilakunya
anak-anaknya belajar tentang falsafah hidup. Tidak bisa
dipungkiri, seorang ayah adalah kebanggaan bagi anak-anaknya. Anak-anak remaja
bangga jika ayah mereka memiliki pendirian yang teguh, komitmen yang tidak
mudah goyah, emosi yang terkendali, konsep diri yang kuat, perencanaan hidup
yang cemerlang, dan mentalitas yang tangguh. Seorang ayah memainkan peran yang
sangat besar terhadap pembentukan tata nilai anak remajanya karena peran ayah
sebagai sentral keluarga biasanya lebih dominan di dalam keluarga.
3.
Beberapa
kelemahan ayah
Ayah
adalah figur kekuatan dana kekuasaan di dalam keluarga. Ia merupakan simbol
wibawa dan kedaulatan keluarga. Personifikasi dirinya mendorong keberanian
anggota keluarganya untuk menantang berbagai persoalan hidup. Tetapi, tidak ada
ayah yang sempurna di dunia ini sehingga mampu memainkan perannya secara
sempurna tanpa pernah melakukan kesalahan. Beberapa kesalahan yang seringkali
dilakukan ayah adalah bertindak otoriter, sering tergesa-gesa, malu mengakui
kelemahannya, atau melanggar peraturan yang dia tetapkan sendiri.
4.
Peran
ibu sebagai pembentuk identitas
Kodrat
selalu dekat dengan kelemah-lembutan, cinta, dan kasih-sayang. Itulah citra
perempuan yang membuatnya menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk mendapatkan
kehangatan cinta dan kasih-sayang. Intinya seorang ibu berperan sebagai
pengasuh yang memberikan rasa nyaman bagi anak remajanya. Pada wajah ibu selalu
terpancar kesejukan yang memberikan kedamaian yang membuat setiap remaja
menemukan dermaga tempat untuk melabuhkan hati yang sedang gundah gulana. Ibu
merupakan penerjemah utama sifat, kepribadian, maupun integritas ayah. Artinya,
pengaruh ibu sangat besar terhadap pembentukan persepsi anak-anak tentang ayah
mereka.
5.
Beberapa
kelemahan ibu
Kaum
ibu adalah ibarat mata rantai, kelemahannya terletak pada kekuatannya atau
sebaliknya kekuatannya terletak pada kelemahannya. Demikian halnya, para ibu di
seluruh dunia tampaknya memiliki persamaan kelemahan, yakni tidak tega, mudah
terharu, ragu-ragu, mudah larut dalam suasana emosional, tidak berani mengambil
keputusan strategis, atau mudah dipengaruhi anak-anaknya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Salah
satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam perjalanan hidup seorang
remaja adalah pembentukan identitasnya. Dalam pembentukan identitas, peranan
orang tua sangat penting dan diperlukan karena mereka adalah teladan yang akan
menjadi model bagi anak-anak remaja mereka. Bagaimanapun, orang tua adalah
model yang paling mudah untuk ditiru oleh mereka. Artinya, apa yang diajarkan
orang tua, akan merupakan identitas mereka menuju masa depan.
2.
Orang tua yang bijaksana tidak akan membiarkan
anak remajanya berjalan sesuka hati menuruti kehendaknya sendiri. Perlu
rambu-rambu dan batasan-batasan peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh
mereka. Oleh karena itu, walaupun kurang menyenangkan, tetapi untuk membentuk
kehendak remaja supaya tertib dan tingkah lakunya terkendali, diperlukan cara
pendisiplinan yang keras dan tegas.
3.
Peran
orang tua sangatlah peting bagi perlindungan remajanya terhadap pergaulan
bebas, karena orang tua adalah orang yang paling pertama kali mendidik atau
mengajarakan anaknya dari usia dini hingga dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Hurlock, Elizabeth, B.,. 2006. Psikologi
Perkembangan, Jakarta: Erlangga
Sarwono, Sarlito W. 1991. Psikologi
Remaja. Jakarta : Rajawali Press
Gunarsa,
Singgih. 1990. Dasar & Teori Perkembangan Anak. Jakarta : PT BPK
Gunung mulia
L. Dzulkifli, 1992. Psikologi
Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Prawirosudirjo,
Garnadi. Menginjak Masa Remaja, Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1997
http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/10/29/alasan-remaja-malas-berkomunikasi-dengan-orang-tua/
http://arfinurul.blog.uns.ac.id/2010/05/10/perkembangan-emosi-pada-remaja/
http://psikonseling.blogspot.com/2009/03/psikologi-perkembangan-pada-remaja.html
http://indo.hadhramaut.info/view/3766.aspx
Surbakti,
EB. Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan Remaja. Elex Media
Komputindo.
http://belajarpsikologi.com/karakteristik-remaja/
[1] L.
Dzulkifli, 1992. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal.
65-66
[2] http://indo.hadhramaut.info/view/3766.aspx
[3]
Sarwono, Sarlito W. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Press
[4]http://kesehatan.kompasiana.com/ibu-dan-anak/2011/10/29/alasan-remaja-malas-berkomunikasi-dengan-orang-tua/
[6]
Surbakti, EB. Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan Remaja. Elex
Media Komputindo. Hal. 125-126
Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
BalasHapusLooking for Borgata 강릉 출장안마 Hotel Casino & 평택 출장안마 Spa in Atlantic 경기도 출장안마 City? Compare reviews, photos & ratings 오산 출장마사지 from 11034 hotel guests. Rating: 정읍 출장샵 3.2 · 110 votes