ALIRAN-ALIRAN
FILSAFAT
PENDIDIKAN
Diajukan untuk memenuhi Tugas Kelompok
Mata kuliah : Filsafat Pendidikan
Dosen :
Mustopa, M.Pd
Disusun oleh
kelompok 4 :
1.
Ucup Supriadi
2.
RIKY DWI SEPTIAN
3.
KAYADI
Tarbiyah / IPS - C /
SEMESTER III
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI
CIREBON
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pertumbuhannya,
filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang
kurun waktu dengan objek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan berbagai
macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan
yang lain hanya bersifat saling kuat-menguatkan, tapi tidak jarang pula yang
berbeda atau berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang di
pakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena
perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang
dihasilkan menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain
iu faktor zaman dan pandangan hidup yang melatar belakangi mereka, serta tempat
di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Menyimak kembali sejarah
pertumbuhan dan perkembangan filsafat sebagaimana yang telah di uraikan dalam
bab pertama, akan menjadi jelas adanya perbedaan tersebut diatas. Begitu pula
halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan
bebagai pandangan atau aliran. Karena pemikiran filsafat yang tidak pernah
mandeg.
Untuk mengetahui
perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan, di bawah ini akan diuraikan
garis-garis besar aliran-aliran filsafat dalam pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Progressivisme?
2. Apakah
yang dimaksud dengan aliran Esensialisme?
3. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Perennialisme?
4. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Rekontruksionalisme?
5. Apakah
yang dimaksud dengan aliran
Eksistensialisme ?
6. Apakah
yang dimaksud dengan aliran Idealisme?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui aliran Progressivisme
2. Untuk mengetahui aliran
Esensialisme
3. Untuk mengetahui aliran
Perennialisme
4. Untuk mengetahui aliran
Rekontruksionalisme
5. Untuk mengetahui aliran
Eksistensialisme
6. Untuk Mengetahui aliran Idealisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Progressivisme
Aliran Progressivisme adalah
suatu aliran yang sangat berpengaruh di abad ke-20 ini. Pengaruh ini sangat
terasa sekalli khususnya di Amerika Serikat. Usaha pembaharuan dalam dunia
pendidikan pada umumnya terdorong oleh aliran Progressivisme ini. Biasanya
aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal –“The liberal road to
culture”.[1] Aliran progresivisme mengakui dan berusaha
mengembangkan asas progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia
bisa survive menghadapi semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia.
Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran ini menyadari dan
mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori. Dan
dinamakan environmentalisme, Karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan (Muhammad Noor Syam, 1987:
228-229)
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar di dunia
pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan
kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara fisik
maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang terpendam
dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain (Ali,
1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui pendidikan
yang otoriter.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi
pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah
bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah
di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus
menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik
tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk
itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar
“sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Sifat-sifat aliran Progressivisme
1) Sifat-sifat Negatif, dalam artian bahwa, Progressivisme menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala
bentuk, seperti terdapat dalam agama, politik, etika dan epitemologi.
2) Sifat-sifat Positif, dalam
arti bahwa Progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari
manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia dari alam sejak lahir.
Maka tugas pendidikan
menurut pragmatisme, ialah meneliti sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia
itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan itu dalam pekerjaan praktis.
Perkembangan aliran Progressivisme
Dalam asas modern – sejak abad ke-16 Francis Bacon, John Locke,
Rousseau, Kant dan Hegel dapat dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang
dalam proses terjadinya aliran pragmatisme-Progressivisme. Dalam abad ke-19 dan
ke-20 ini tokoh-tokoh pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Thomas
Paine dan Thomas Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme
karena kepercayaan mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap dogmatis,
terutama dalam agama.
Keyakinan-keyakinan Progressivisme tentang pendidikan
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak
didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya.
Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan,
sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi
pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah
bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah
di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus
menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik
tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk
itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar
“sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus dikembangkan
dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya berfungsi sebagai
pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), melainkan juga berfungsi
sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value), sehingga anak
menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun psikis. Untuk itulh
sekat antara sekolah dengan masyarakat harus dihilangkan.
B. Aliran Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang didasarkan
pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.[2] Esensialisme muncul pada
zaman Renaisance dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar
pijakan aliran ini lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan
tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama, yang meberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas (Zuhairini, 1991: 21).
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai
pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, pada tarap
permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke luar untuk
memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Menurut
Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera
memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti semua itu
sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan waktu
sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi,
apriori yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang
terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan
mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai
substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna,
1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof, menerangkan
tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan
rohani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja
Yng telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi, belajar adalah menerima
dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social angkatan baru yang
timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
Selain itu juga di warnai dengan pandangan-pandangan dari paham
penganut aliran idealisme dan realisme. Imam Bernadib (1981)[3], menyebutkan beberapa
tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:
1. Desiderius Erasmus, humananis Belanda yang hidup pada akhir abad
15 dan permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan
hidup yang berpijak pada dunia lain.
2. Johann Amos Comenius yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah
seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa
pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3. Johann Friederich Herbert yang hidup pada tahun
1776-1841, sebagais alah seorang murid Immanuel Kant yang berpendapat dengan
kritis, herbert berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa
seseorang dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti penyesuaian dengan
hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan
pendidikan oleh Herbert sebagai ‘pengajaran yang mendidik’.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia
di dunia dan hakikat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan
segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme
merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran dan kegunaan.